Kenapa Kita Gagal
“Hidup itu bukan kayak balapan. Yang ketika orang lain sampai di garis finish duluan lalu kita gagal. Hidup itu kayak masak. Masing-masing dari kita diberi ‘bahan’ dan usaha kita adalah menghasilkan hidangan terbaik yang bisa kita lakukan dengan bahan yang kita punya.
Mungkin beberapa orang sangat baik dalam appetizer atau main course sementara kita sangat buruk di situ. Tapi bisa jadi kita lebih baik dari dia dalam dessert, plating atau hal lain. Gua yakin gak ada manusia yang mutlak sempurna dalam segala hal.”
Sore hari kamis kemarin, di selasar FEB UI, saya menyimak setiap cerita dan kalimat yang dilontarkan oleh seorang mas-mas di depan saya. Orang yang ngasih saya filosofi di atas. Mas Gigih namanya. Orang yang
bahkan belum lama saya kenal, tapi udah cukup berjasa memantik semangat saya
buat kerja lebih keras dari yang lain, “going
extra miles” istilah yang dia pakai. Karena hanya dengan semangat itu saya
rasa orang-orang yang “bahan memasaknya” terbatas bisa sampai pada hidangan
terbaik mereka.
Saya mendadak pengen ketemu dia setelah lihat ini.
Rasanya
saya butuh teman diskusi.
(Bytheway, mungkin siapa itu mas Gigih bisa kamu baca di blognya
dan sepertinya kapan-kapan saya perlu menulis itu di postingan berbeda)
Ini sebetulnya berawal dari pertanyaan diri saya atas satu
hal: Kenapa di dalam kamus kita harus
menemukan kata Gagal?
Dan apapula itu “gagal”? Mungkin sering kita dengar gagal
sendiri dibilangnya keberhasilan yang tertunda. Ah, itu hanya konsep. Persepsi
yang orang desain agar siap menghadapi kegagalan. Kegagalan sendiri, kamu tau,
adalah kata yang maknanya amat sederhana. You
Failed! Kamu gak berhasil melakukan sesuatu.
Tapi kenapa?
Saya sadar saya sedang berhadapan dengan pertanyaan yang
bisa memunculkan banyak jawaban berbeda. Seperti halnya kita memandang tugu
monas, banyak cara untuk melihatnya. Tergantung dari sudut mana kita berdiri
dan menyimpulkan apa yang kita lihat dan rasakan.
Seringkali satu hal yang memperburuk kegagalan itu sendiri
adalah ketika kita akhirnya membandingkan kegagalan kita dengan keberhasilan
orang lain yang juga berproses dengan kita. Kata apa yang lebih pas dari “I’M A LOSER”?
Rasanya saya butuh tong sampah besar lalu menyemplung-kan diri di dalamnya.
“Minder itu wajar. Gua
juga sempat ngalamin itu. Tapi apakah dengan gua mengeluhkan keadaan gua akan lebih
baik? It doesn’t improve anything. When life gives you lemons, make lemonade!” katanya, setelah
hampir 2 jam kami ngobrol.
Kalo kamu udah baca siapa mas Gigih
ini, kamu akan tau dia pun berjuang dari keterbatasan. Bersekolah di desa
terpencil, bekerja sebagai Office Boy
Outsourcing dengan menahan cibiran tetangga, yang setelah kegagalan
berhasil melanjutkan kuliahnya di Manajemen FEB UI dan akhirnya lulus di tahun
ini.
Sore itu ditutup dengan pencerahan.
Sekaligus perasaan “kecil”. Merasa ini belum apa-apa. Cemen sekali saya mengeluh
soal kegagalan di usia semuda ini. Padahal untuk sampai pada hidangan terbaik bumbu utamanya adalah kegagalan. See?
Dan sebagaimana hidup katanya kayak memasak, mungkin istilah gagal itu gak pernah ada. Yang sebenarnya ada hanyalah hidangannya udah jadi, cuma belum cukup enak aja. Lagi-lagi ini hanya konsep, bukan?
Tapi katakanlah kita masih pakai istilah itu, mungkin yang dibutuhkan orang gagal hanyalah waktu. Waktu untuk berpikir, waktu untuk sendirian.
Mungkin yang perlu orang gagal lakukan adalah membuat kegagalannya menjadi hal sederhana.
Sesederhana pertanyaan “kenapa kita gagal?”
Kemudian kita jawab juga dengan sederhana:
Agar kita kembali
belajar.
Belajar, kenapa kita gagal.
Belajar, kenapa kita gagal.
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih udah baca.
Silahkan tinggalkan komentar, bebas apa aja.
Yang penting baik dan tidak mengandung SARA.
Btw, SARA itu apa ya?