WELCOME !

THIS IS

image
Hello,

I'm Dapid Nurdiansyah

I am currently management student that has a keen intrerest in Entrepreneurship, Marketing and Education. I grew up by dint of volunteerism. I consider becoming a future marketing specialist and useful human being for society.


Education
Universitas Negeri Jakarta

Management, Faculty of Economics

Yayasan Pemimpin Anak Bangsa

Kejar Paket C

Sekolah Master Indonesia

Master FEB UI, Social Sciences


Activities
Asian Games 2018

Volunteer of Accreditation Department

Asian Games 2018: Invitation Tournament

Volunteer of IT&T Department

Management Event 2018, FE UNJ

Head of Public Relations


Playground
Event Management
Writing
Public Speaking
Design
#MencobaSerius

Balada Hidup di Ibu Kota

Andhika, 10 tahun, berperan penting dalam menjaga
kerapihan & kebersihan Mahasiswa UNJ dengan suplai tisu-nya.

[Jumat, 24 November 2017]

Saya cukup familiar dengan anak ini semenjak berkuliah.
Seringkali saya lihat dia berkeliling dari satu sudut ke sudut lain di UNJ. Dengan menenteng tumpukan tisu, menawarkan kepada mahasiswa yg sedang asik santai atau berdiskusi. Ada yang tertarik membeli, sebagiannya berterima kasih, sebagiannya lagi terkadang tak mengacuhkan anak ini.

Jakarta tempat hidup yang keras.
Sebagaimana anak 10 tahun ini harus bekerja. Disaat anak 10 tahun lainnya hidup di tengah kehangatan keluarga, disayang dan dimanja.

Sebenarnya saya tidak asing dengan anak-anak seperti Andhika ini. Sejak dua tahun lalu saya menjadi bagian dari Sekolah Master, Depok. Tempat anak-anak yang peruntungannya berbeda, berjuang meneruskan pendidikan dalam sebuah kontainer bekas di balik lalu-lalang bus, di terminal Depok. Saya belajar di sana.

Anak-anak seperti Andhika adalah adik seperjuangan saya di Sekolah Master. Tipikal yang pagi bersekolah, siang menjaja. "Tisunya kak, 3 ribuan kak.." ujar mereka, tiap dijumpai orang dihadapannya.

Andhika adalah potret satu dari sekian banyak anak Indonesia yang takdirnya berjuang sejak dini. Bahkan sejak dirinya sendiri belum sepenuhnya sadar, mengapa dia harus melakukan ini, di arena bermain yang 'keras' dengan anak-anak pengasong lain. 

Meski saat ditanya apakah berjualan tisu ini perintah dari orang tuanya, dengan menggeleng polos dia menjawab "Emang mau sendiri. Emang pengen jualan aja kak.." tetap tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa tuntutan hidup di keluargalah yang membawanya ke lingkaran ini. Terlebih ketika saya bertanya, bagaimana jika Ia pulang dan tisunya tidak laku? "Iya, dimarahi sama mama.."

Dhika-- panggilannya-- anak terakhir dari 6 bersaudara. Ia masih bersekolah di salah satu SD swasta di Utan Kayu, tidak jauh dari tempat Ia berjualan hari itu. Meski terbilang terlambat, karena di usianya yang 10 tahun Ia baru berkesempatan menempuh kelas 1 Sekolah Dasar. Namun pada hakikatnya tidak ada kata terlambat dalam belajar. 

"Dhika, mau kuliah juga nggak?" senyumnya seolah mendukung jawaban yang Ia ucapkan setelahnya "Mau kak." Iya, kamu harus! Pikir saya dalam hati. Karena setiap anak di negeri ini punya hak yang sama. Meski terkadang kesempatan tidak serta-merta memihak begitu saja. Semoga suatu hari kamu sampai pada peran itu dhik!

Di penghujung Jumat siang, hari itu, selepas berbincang di kantin, Andhika bertemu kembali dengan dua anak lainnya yang kebetulan sedang berkeliling.

Nampaknya Dhika harus segera kembali berkeliling. Tanpa ingin menghambat waktunya, selepas memberikan uang tisu yang saya beli, kami pun berpisah.

Sampai jumpa di kesempatan yang lebih baik, Andhika! 
Terima kasih pelajarannya!







Contribution For Management

Name                : Dapid Nurdiansyah
Registration ID : 1705617136
Program Study : Management (S1)

What is the point of being educated? That question crossed in my mind at one night. I just wondered why I should be as excited as this to pursue education, studying, that some people said it was exhausting. My name is Dapid Nurdiansyah, a student.
Being a college student is not easy leap especially for a student that came from a small school like me. It was not easy because I completed my high school education with slightly different way. Wait, different? Yes. I finished it through non formal education, Kejar Paket C —another way to gain education.
I came from what in Indonesia’s education system called as PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) which was conceptually I learned what mostly people learn while schooling in formal school, but technically I didn’t study in a big school with full access toward government programs such as interscholastic contests, SNMPTN, even government scholarships because administratively I've not been able to attend some educational programs because I was from PKBM. It so sad when in fact you have the desire to grow further but your steps are hampered by the system.
Going through Kejar Paket C at PKBM had made some people wondered. Why? They asked. Well, I used to come from formal school. Everything was going well until an accident occured, I got crashed and broke my leg. Those had me to quit from school to take a long recovery –3 years. It was a tough years for me. At the end of healing period, I decided to come back to school by way of Kejar Paket C which is non-formal education.
The question is: what made me choosed this path? Honestly, at first I myself was skeptical with what they called as education of equality. Until one day I had to accept one fact against my life: I was a school-dropped out boy. Regardless of what problem behinds, that was what actually happened to me. Along the night, I lamented that fact. Until I realized, dropping out of school doesn't mean dropping out of hope. I still had another option.
Coincidentally, in the other night, I watched a young man (who also confessed as a dropped-out boy) was being interviewed on television and talking about equality education. Briefly, this man was also dropped-out of school and finished his high school studies by way of Kejar Paket C and running it through alone. He studied by himself at home, alone! And finally, with all the effort and hard work, he made it. He was accepted in Faculty of Law at Universitas Indonesia majoring in Law Sciences. At that sad night, this man had convinced me if there is no wrong with that, literally! He had proved it out. In short, I took my own decision. I continued my non formal-high school and studied in a ‘school’ which was founded by that young-dropped out- man. They named it Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB). What a great idea!
For almost 2 years studying there, I was taught by very-humble-volunteer tutors. Yes, volunteer. They are not get paid. During that time, I learned. What brought them here? Well, I got so much lessons to tell you.
Today, I have passed through that phase dan completed my high school studies. After I attended student selection for higher education and passed the selection, I get accepted in Faculty of Economics at State University of Jakarta, majoring in Management.
The question now is: What could I do with this privilege as a management student? Studying in a place what people called as Campus of Education that has given birth to great teachers in this country. What is so special? I believe, the best opportunity that we have while young is the opportunity to get an education. As a boy who has dropped out of school, I see many problems in our education that need to be solved. I think, as a management student I have the chance to solve it. So, I want to dedicate my knowledge to our world of education. I want everyone get that best opportunity too!
As a student of State University of Jakarta (UNJ), I would like to join and build the name of Management UNJ increasingly known as the Faculty of Economics which has quality and contribution to the education of Indonesia. One of the steps, I have long dreamed of being a volunteer in a non-profit organization whose mission is to implement educational equity.
I grew up from volunteerism. Even though they came for free, of course I had to pay it forward. Spreading out the same passion to other dropouts. With the management knowledge that I would get from the State University of Jakarta, I hope it can be of much useful for others and will boast my alma mater!
As a student who was educated by volunteer teachers: a group of educated people. Seeing what they did with their knowledge, seeing their passion in educational equity, I think I get an answer over my question at first: What is the point of being educated?
Well, of course, to be free and set others free.

Gadis Di Seberang Kota


Untuk kamu yang di seberang sana,
Gadis yang senyumnya saya amati dari kejauhan,
Bertahan dalam lengkungan bibir tipis, yang saya sebut: manis
Apa kabar?
Pertanyaan aneh yang saya lontarkan, padahal pun kita belum pernah berpapasan.

Untuk kamu yang di seberang sana,
Kita berkenalan dengan cara yang amat sederhana
Tanpa pertemuan, tanpa tatap muka
Hanya dengan barisan pesan teks di layar datar dan atap langit yang berisi bintang yang sama.

Untuk kamu yang di seberang sana,
Kamu menyadarkan bahwa saya tidak hidup sendirian
Ternyata ada makhluk indah yang Tuhan ciptakan,
bukan saja untuk menemani, namun juga melengkapi.

Untuk kamu yang di seberang sana,
Saya tak tahu alasan kenapa ada perasaan seunik ini
Manusia memikirkan manusia lain
Sepanjang hari dalam lamunan,
Apa yang sedang kamu kerjakan?
Apa yang sedang kamu pikirkan?
Saya tak tahu.
Yang jelas saya tahu, Tuhan menitipkan itu agar kita bisa saling mengasihi, saling menyayangi.
Omong-omong, apa sayangnya kamu sudah dimiliki?

Untuk kamu yang di seberang sana,
Yang menerima saya sebagai teman, teman dari kejauhan
Saya harap kita bisa mengenal lebih jauh di sisa perjalanan
Mungkin terus sebagai teman, atau.. bisa saja kan, menjalin pertalian?
Manusia tidak pernah tahu
Ke mana arah hatinya berlabuh.

Untuk kamu yang di seberang sana,
Yang tak pernah bertemu tapi terasa bersama sepanjang waktu
Yang perjumpaannya hanya dalam lelap
Yang saat bangun menyisakan rindu yang amat sangat.

Kamu yang di seberang sana,
Yang saya harap masih sendirian,
Tunggu saya..
Yang akan menyeberang juga.


image source:
https://pixabay.com/en/bus-stop-waiting-public-transport-384617/

Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti


Saya bukan tipe musikal.

Yang punya adiksi sama musik.

Bahkan itu yang bikin saya bingung sama diri sendiri ketika lihat playlist musik temen. Selera musik mereka keren-keren. Up to date. Pas lihat punya saya, ya ampun. Penyanyi aslinya aja kayaknya bakalan komplen, “Lu serius? Masih dengerin itu?”  –kemudian mereka bubar.

Bahkan saya bakalan lebih familiar sama musik 90 – 2000an awal daripada musik sekarang. Padahal saya aja lahir menjelang akhir 90-an. Pertanyaannya: Kenapa? Jawabannya: Ayah saya.

Sejak kecil saya ‘terpaksa’ terbiasa dengar lagu pop klasik dan dangdut. Saya gak asing lagi deh sama Mansyur S atau penyanyi dangdut lain yang namanya saya gak tau tapi lagunya hafal sampe sekarang :))

Dulu, setiap kali libur kerja, Ayah sering nyetel musik di VCD player setiap pagi –yang sialnya adalah musik dangdut. Alhasil sisi musikal saya terkontaminasi oleh paparan musik dangdut. YEAH!

Selain dangdut sebetulnya saya juga diputarkan lagu lain. Bob tutupoly (Widuri), Broery marantika, Betharia Sonata (yang ini favorit Umi), Iwan Fals, Ebiet G Ade daftar pendek penyanyi yang suaranya udah familiar di telinga saya sejak awal SD. Kedua nama terakhir masih saya dengerin sampe sekarang. Dan.. agak beda rasanya pas dengerin lagu-lagu mereka. Dalem. Yang suka bikin saya nyanyi tapi sambil mikirin liriknya. Mereka pemikir musik yang outstanding abis sih :))

Saya setuju sama gagasan: puncak tertinggi dari musik itu ketika dia bisa nyentuh perasaan pendengar pake lirik-liriknya.  Sadis.

Tapi itu yang agak saya sayangkan sih. Saya coba-coba dengerin dan membandingkan musik zaman baheula dengan yang sekarang, dangdut deh, well, those are all totally different. Mungkin bermula dari situ, saya terkurung dalam selera musik yang segitu-segitu aja. Karena saya pikir gak banyak pilihan, selain musik yang liriknya gak jauh-jauh dari “aku cinta kamu, ku rela mati untukmu, atau.. suamiku kawin lagi”.

Belum banyak nemuin yang suka bikin mikir dan nyentuh-nyentuh lagi. Atau saya nya aja yang gamau disentuh ya? Ah, siapa peduli.

Kalo begitu, mumpung momennya pas sama momen tempo hari, saya mau ngutip lagunya Banda Neira ajalah, paling nggak, ini udah cukup up to date lah ya? (walaupun mereka udah bubar #GUBRAK)
"Yang patah tumbuh, yang hilang berganti

Yang hancur lebur akan terobati

Yang sia-sia akan jadi makna

Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh.. yang hilang berganti"

Kenapa Kita Gagal

“Hidup itu bukan kayak balapan. Yang ketika orang lain sampai di garis finish duluan lalu kita gagal. Hidup itu kayak masak. Masing-masing dari kita diberi ‘bahan’ dan usaha kita adalah menghasilkan hidangan terbaik yang bisa kita lakukan dengan bahan yang kita punya. 
Mungkin beberapa orang sangat baik dalam appetizer atau main course sementara kita sangat buruk di situ. Tapi bisa jadi kita lebih baik dari dia dalam dessert, plating atau hal lain. Gua yakin gak ada manusia yang mutlak sempurna dalam segala hal.”


Sore hari kamis kemarin, di selasar FEB UI, saya menyimak setiap cerita dan kalimat yang dilontarkan oleh seorang mas-mas di depan saya. Orang yang ngasih saya filosofi di atas. Mas Gigih namanya. Orang yang bahkan belum lama saya kenal, tapi udah cukup berjasa memantik semangat saya buat kerja lebih keras dari yang lain, “going extra miles” istilah yang dia pakai. Karena hanya dengan semangat itu saya rasa orang-orang yang “bahan memasaknya” terbatas bisa sampai pada hidangan terbaik mereka.

Saya mendadak pengen ketemu dia setelah lihat ini.

Rasanya saya butuh teman diskusi.
(Bytheway, mungkin siapa itu mas Gigih bisa kamu baca di blognya dan sepertinya kapan-kapan saya perlu menulis itu di postingan berbeda)

Ini sebetulnya berawal dari pertanyaan diri saya atas satu hal: Kenapa di dalam kamus kita harus menemukan kata Gagal?

Dan apapula itu “gagal”? Mungkin sering kita dengar gagal sendiri dibilangnya keberhasilan yang tertunda. Ah, itu hanya konsep. Persepsi yang orang desain agar siap menghadapi kegagalan. Kegagalan sendiri, kamu tau, adalah kata yang maknanya amat sederhana. You Failed! Kamu gak berhasil melakukan sesuatu.

Tapi kenapa?

Saya sadar saya sedang berhadapan dengan pertanyaan yang bisa memunculkan banyak jawaban berbeda. Seperti halnya kita memandang tugu monas, banyak cara untuk melihatnya. Tergantung dari sudut mana kita berdiri dan menyimpulkan apa yang kita lihat dan rasakan.

Seringkali satu hal yang memperburuk kegagalan itu sendiri adalah ketika kita akhirnya membandingkan kegagalan kita dengan keberhasilan orang lain yang juga berproses dengan kita. Kata apa yang lebih pas dari “I’M A LOSER”

Rasanya saya butuh tong sampah besar lalu menyemplung-kan diri di dalamnya.

“Minder itu wajar. Gua juga sempat ngalamin itu. Tapi apakah dengan gua mengeluhkan keadaan gua akan lebih baik? It doesn’t improve anything. When life gives you lemons, make lemonade!” katanya, setelah hampir 2 jam kami ngobrol.

Kalo kamu udah baca siapa mas Gigih ini, kamu akan tau dia pun berjuang dari keterbatasan. Bersekolah di desa terpencil, bekerja sebagai Office Boy Outsourcing dengan menahan cibiran tetangga, yang setelah kegagalan berhasil melanjutkan kuliahnya di Manajemen FEB UI dan akhirnya lulus di tahun ini.



Sore itu ditutup dengan pencerahan. Sekaligus perasaan “kecil”. Merasa ini belum apa-apa. Cemen sekali saya mengeluh soal kegagalan di usia semuda ini. Padahal untuk sampai pada hidangan terbaik bumbu utamanya adalah kegagalan. See?

Dan sebagaimana hidup katanya kayak memasak, mungkin istilah gagal itu gak pernah ada. Yang sebenarnya ada hanyalah hidangannya udah jadi, cuma belum cukup enak aja. Lagi-lagi ini hanya konsep, bukan?

Tapi katakanlah kita masih pakai istilah itu, mungkin yang dibutuhkan orang gagal hanyalah waktu.  Waktu untuk berpikir, waktu untuk sendirian.

Mungkin yang perlu orang gagal lakukan adalah membuat kegagalannya menjadi hal sederhana.

Sesederhana pertanyaan “kenapa kita gagal?”

Kemudian kita jawab juga dengan sederhana:
Agar kita kembali belajar. 
Belajar, kenapa kita gagal.

Keheningan

Pas lihat muka orang ini tiba-tiba mau muntah, muntahin aja
Ketika hidup mengajakmu untuk ‘berteman’ dengan realita yang keras dan penuh tanggung jawab, kamu dipaksa terlatih untuk bisa bertahan di antara keduanya.  

Saat rongrongan mereka rasanya terlalu kuat, diam dan hidupkan satu momen yang membuat 5 detikmu tenang. Momen yang sering orang sebut dengan: keheningan.

– Depok, 28 April 2017

Contemplation for no particular reason

Sometimes at some point you might have once found a situation which make you feel like a fish whom swim alone in a mirror aquarium. What you could see is yourself only. So you can watch any lack of yourself completely.

Well..

May be in one night,  in odd moments you feel confused about something that.. you don't understand what it is. Why those things pop up on your mind as if to say, "I'll accompany you in this night. This looong night. Just sitting on your seat and enjoy the night.."

So quiet.
No people talk.
No TV's screaming.
Only me accompanied by clock's tick and silence.

Maybe it will be simple if I directly say: I can't sleep. Well, I'm sleepy actually. But I don't know. I truly can't sleep.. or probably my subconscious is ignoring to sleep?

Apparently I'm worried. But can't describe what am I worried about. Complex enough to say. I just let it comes around and play in my mind for this night.

Well, I just do a contemplation...for no particular reason.

Confused.

Perhaps I only need one-definitely-thing right now:

Sleep.

Ya, hopefully tomorrow ll'be better.

Nite folks.

at 2 am

Any Idea To Share?

Contact Dapid
DAPID NURDIANSYAH
AVAILABLE UPON REQUEST
BOGOR, INDONESIA

Pages