WELCOME !

THIS IS

image
Hello,

I'm Dapid Nurdiansyah

I am currently management student that has a keen intrerest in Entrepreneurship, Marketing and Education. I grew up by dint of volunteerism. I consider becoming a future marketing specialist and useful human being for society.


Education
Universitas Negeri Jakarta

Management, Faculty of Economics

Yayasan Pemimpin Anak Bangsa

Kejar Paket C

Sekolah Master Indonesia

Master FEB UI, Social Sciences


Activities
Asian Games 2018

Volunteer of Accreditation Department

Asian Games 2018: Invitation Tournament

Volunteer of IT&T Department

Management Event 2018, FE UNJ

Head of Public Relations


Playground
Event Management
Writing
Public Speaking
Design
#MencobaSerius

Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti


Saya bukan tipe musikal.

Yang punya adiksi sama musik.

Bahkan itu yang bikin saya bingung sama diri sendiri ketika lihat playlist musik temen. Selera musik mereka keren-keren. Up to date. Pas lihat punya saya, ya ampun. Penyanyi aslinya aja kayaknya bakalan komplen, “Lu serius? Masih dengerin itu?”  –kemudian mereka bubar.

Bahkan saya bakalan lebih familiar sama musik 90 – 2000an awal daripada musik sekarang. Padahal saya aja lahir menjelang akhir 90-an. Pertanyaannya: Kenapa? Jawabannya: Ayah saya.

Sejak kecil saya ‘terpaksa’ terbiasa dengar lagu pop klasik dan dangdut. Saya gak asing lagi deh sama Mansyur S atau penyanyi dangdut lain yang namanya saya gak tau tapi lagunya hafal sampe sekarang :))

Dulu, setiap kali libur kerja, Ayah sering nyetel musik di VCD player setiap pagi –yang sialnya adalah musik dangdut. Alhasil sisi musikal saya terkontaminasi oleh paparan musik dangdut. YEAH!

Selain dangdut sebetulnya saya juga diputarkan lagu lain. Bob tutupoly (Widuri), Broery marantika, Betharia Sonata (yang ini favorit Umi), Iwan Fals, Ebiet G Ade daftar pendek penyanyi yang suaranya udah familiar di telinga saya sejak awal SD. Kedua nama terakhir masih saya dengerin sampe sekarang. Dan.. agak beda rasanya pas dengerin lagu-lagu mereka. Dalem. Yang suka bikin saya nyanyi tapi sambil mikirin liriknya. Mereka pemikir musik yang outstanding abis sih :))

Saya setuju sama gagasan: puncak tertinggi dari musik itu ketika dia bisa nyentuh perasaan pendengar pake lirik-liriknya.  Sadis.

Tapi itu yang agak saya sayangkan sih. Saya coba-coba dengerin dan membandingkan musik zaman baheula dengan yang sekarang, dangdut deh, well, those are all totally different. Mungkin bermula dari situ, saya terkurung dalam selera musik yang segitu-segitu aja. Karena saya pikir gak banyak pilihan, selain musik yang liriknya gak jauh-jauh dari “aku cinta kamu, ku rela mati untukmu, atau.. suamiku kawin lagi”.

Belum banyak nemuin yang suka bikin mikir dan nyentuh-nyentuh lagi. Atau saya nya aja yang gamau disentuh ya? Ah, siapa peduli.

Kalo begitu, mumpung momennya pas sama momen tempo hari, saya mau ngutip lagunya Banda Neira ajalah, paling nggak, ini udah cukup up to date lah ya? (walaupun mereka udah bubar #GUBRAK)
"Yang patah tumbuh, yang hilang berganti

Yang hancur lebur akan terobati

Yang sia-sia akan jadi makna

Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh.. yang hilang berganti"

Kenapa Kita Gagal

“Hidup itu bukan kayak balapan. Yang ketika orang lain sampai di garis finish duluan lalu kita gagal. Hidup itu kayak masak. Masing-masing dari kita diberi ‘bahan’ dan usaha kita adalah menghasilkan hidangan terbaik yang bisa kita lakukan dengan bahan yang kita punya. 
Mungkin beberapa orang sangat baik dalam appetizer atau main course sementara kita sangat buruk di situ. Tapi bisa jadi kita lebih baik dari dia dalam dessert, plating atau hal lain. Gua yakin gak ada manusia yang mutlak sempurna dalam segala hal.”


Sore hari kamis kemarin, di selasar FEB UI, saya menyimak setiap cerita dan kalimat yang dilontarkan oleh seorang mas-mas di depan saya. Orang yang ngasih saya filosofi di atas. Mas Gigih namanya. Orang yang bahkan belum lama saya kenal, tapi udah cukup berjasa memantik semangat saya buat kerja lebih keras dari yang lain, “going extra miles” istilah yang dia pakai. Karena hanya dengan semangat itu saya rasa orang-orang yang “bahan memasaknya” terbatas bisa sampai pada hidangan terbaik mereka.

Saya mendadak pengen ketemu dia setelah lihat ini.

Rasanya saya butuh teman diskusi.
(Bytheway, mungkin siapa itu mas Gigih bisa kamu baca di blognya dan sepertinya kapan-kapan saya perlu menulis itu di postingan berbeda)

Ini sebetulnya berawal dari pertanyaan diri saya atas satu hal: Kenapa di dalam kamus kita harus menemukan kata Gagal?

Dan apapula itu “gagal”? Mungkin sering kita dengar gagal sendiri dibilangnya keberhasilan yang tertunda. Ah, itu hanya konsep. Persepsi yang orang desain agar siap menghadapi kegagalan. Kegagalan sendiri, kamu tau, adalah kata yang maknanya amat sederhana. You Failed! Kamu gak berhasil melakukan sesuatu.

Tapi kenapa?

Saya sadar saya sedang berhadapan dengan pertanyaan yang bisa memunculkan banyak jawaban berbeda. Seperti halnya kita memandang tugu monas, banyak cara untuk melihatnya. Tergantung dari sudut mana kita berdiri dan menyimpulkan apa yang kita lihat dan rasakan.

Seringkali satu hal yang memperburuk kegagalan itu sendiri adalah ketika kita akhirnya membandingkan kegagalan kita dengan keberhasilan orang lain yang juga berproses dengan kita. Kata apa yang lebih pas dari “I’M A LOSER”

Rasanya saya butuh tong sampah besar lalu menyemplung-kan diri di dalamnya.

“Minder itu wajar. Gua juga sempat ngalamin itu. Tapi apakah dengan gua mengeluhkan keadaan gua akan lebih baik? It doesn’t improve anything. When life gives you lemons, make lemonade!” katanya, setelah hampir 2 jam kami ngobrol.

Kalo kamu udah baca siapa mas Gigih ini, kamu akan tau dia pun berjuang dari keterbatasan. Bersekolah di desa terpencil, bekerja sebagai Office Boy Outsourcing dengan menahan cibiran tetangga, yang setelah kegagalan berhasil melanjutkan kuliahnya di Manajemen FEB UI dan akhirnya lulus di tahun ini.



Sore itu ditutup dengan pencerahan. Sekaligus perasaan “kecil”. Merasa ini belum apa-apa. Cemen sekali saya mengeluh soal kegagalan di usia semuda ini. Padahal untuk sampai pada hidangan terbaik bumbu utamanya adalah kegagalan. See?

Dan sebagaimana hidup katanya kayak memasak, mungkin istilah gagal itu gak pernah ada. Yang sebenarnya ada hanyalah hidangannya udah jadi, cuma belum cukup enak aja. Lagi-lagi ini hanya konsep, bukan?

Tapi katakanlah kita masih pakai istilah itu, mungkin yang dibutuhkan orang gagal hanyalah waktu.  Waktu untuk berpikir, waktu untuk sendirian.

Mungkin yang perlu orang gagal lakukan adalah membuat kegagalannya menjadi hal sederhana.

Sesederhana pertanyaan “kenapa kita gagal?”

Kemudian kita jawab juga dengan sederhana:
Agar kita kembali belajar. 
Belajar, kenapa kita gagal.

Any Idea To Share?

Contact Dapid
DAPID NURDIANSYAH
AVAILABLE UPON REQUEST
BOGOR, INDONESIA

Pages